Sunday, February 20, 2011

Usaha DARI banyak pengalaman gagal usaha

(dari blog orang lain)

Tri Astuti Membangun Usaha Tanpa Riba


JATUH bangun mengembangkan usaha sudah dialami berkali-kali oleh Tri Astuti (32). Ia sudah mencoba berbagai usaha, mulai dari makanan, percetakan, pulsa, sampai warnet. Namun karena semua dilakoninya dengan hanya mengandalkan pengalaman, risiko jatuh pada kondisi yang sama terus berulang. Sampai akhirnya, ia bertemu seorang pembimbing yang mengarahkannya pada usaha yang "barokah" tanpa bergantung pada pinjaman bank. Kini, Tri Astuti kewalahan memenuhi permintaan pasar yang terus berdatangan.

Tri Astuti (32) sebetulnya lulusan Farmasi ITB. Namun naluri usahanya telah muncul sejak ia lulus. Setamat kuliah, Tri sudah menjadi bagian dari tim suatu produk bermerek yang dikelola secara multilevel marketing. Lepas dari itu, ia juga mencoba menjadi broker perdagangan properti.



Namun kesuksesan dan kepuasaan ternyata hanya sepintas. Tidak pernah menetap lama. "Lagi pula sering kali saya merasa bekerja pada orang lain sehingga kalau berhasil pun sepertinya mendukung keberhasilan orang lain saja. Bukan karena milik sendiri," ujarnya saat ditemui "PR" di rumah produksinya di kawasan Cijawura Bandung.

Sejak itu, Tri mulai menginginkan usaha sendiri. Awalnya, ia membeli franchise burger dan menjalaninya dengan sukses. Dari pertama kali hanya mempunyai satu stan, bertambah beberapa stan lain. Pasarnya banyak, permintaan terus mengalir, dan sukseslah Tri dengan usaha makanan ini. Namun karena rasa percaya diri terlalu tinggi tanpa diimbangi perhitungan matang, usaha yang maju pesat itu ternyata pesat pula ambruknya.

"Waktu itu pasar sangat bagus, permintaan banyak. Dari semula satu stan menjadi tiga. Tidak puas sampai di situ, saya langsung buka empat sampai lima belas stan secara bersamaan. Dapat dibayangkan, dengan perasaan sudah merasa berhasil, ternyata tidak terkelola dengan baik. Sampai akhirnya usaha itu jatuh ambruk secepat pada saat suksesnya," tuturnya.

Padahal, saat itu Tri sedang terikat pinjaman bank. Meskipun usaha roti ala Amerika itu jatuh, Tri mencoba lagi usaha di bidang lain, yakni percetakan, pulsa, sampai warnet. Namun lagi-lagi karena Tri hanya belajar dari pengalaman, ketiga usahanya itu pun jatuh. Belakangan ia menyadari, kesalahan mendasar dari bangkrutnya semua usaha itu karena investasi pada alat. Seharusnya, jika alat masih memadai, tidak perlu investasi di situ.

"Akhirnya produksi tidak jalan karena dana terkonsentrasi di alat. Padahal, produksi harusnya berjalan terus untuk membiayai pinjaman ke bank. Dengan utang yang terus membesar, saya menyadari semua proses itu begitu mahalnya kalau hanya mengandalkan pengalaman tanpa bimbingan. Kemungkinan jatuh ke lubang yang sama sangat mungkin terjadi," ujarnya.

Dengan kondisi traumatis seperti itu, Tri mendapat simpati dari sahabatnya. Ia menawarkan Tri untuk mencoba usaha baru tanpa pinjaman bank. Karena ajakan teman itu, Tri mulai menyusun strategi baru usahanya. "Saya jadi ingat, pada zaman Rasulullah saw. saja, usaha itu tidak berkembang karena bank, tetapi karena sistem bagi hasil yang disesuaikan syariat Islam," ujarnya.

Sejak itu, Tri mengikuti kelas bisnis membangun bisnis tanpa riba. Tri mendapat arahan langsung dari Ir. H. Heppy Trenggono, M.Kom. tentang bagaimana membangun bisnis profitable tanpa riba. Tri juga mulai aktif di Indonesia Islamic Business Forum (IIBF), komunitas yang beranggotakan pengusaha dan calon pengusaha dalam berbagi pengalaman dan pendampingan usaha. Dari komunitas ini pula, Tri menemukan banyak hal baru tentang kiat-kiat usaha.

"Mata saya terbuka lebar dan menyadari betapa mahalnya pertaruhan usaha dengan hanya mengandalkan pengalaman," tuturnya.

Modal Nol
Tri memulai usaha barunya dengan modal nol. Waktu itu, ia mencoba membuat beberapa desain baju, me-nggambarnya, menjahit, dan memajangnya di internet. Kebetulan, Muhammad Nurul Ihsan (32), suami Tri, paham betul bagaimana perjuangan istrinya. Ia dengan bersemangat merancangkan situs web untuk usaha baru milik Tri.

"Waktu itu saya hanya membuat enam rancangan baju, tetapi responsnya sangat luar biasa. Lagi-lagi berkat dukungan dari suami, orang tua, dan komunitas di IIBF, Tri mulai menata kembali usahanya dari nol. Caranya, setiap permintaan yang datang disyaratkan harus mengeluarkan uang muka (panjar) dari setengah barang yang diambil.

Hal itu ia lakukan agar bisa membayar bahan-bahan dari para pemasok. Apalagi, kata Tri, pemasok kaus sebagai bahan produksinya selalu minta dibayar di muka. "Dengan mengandalkan panjar dari para distributor itulah, saya bisa membayar para suplier. Padahal modal saya sama sekali nol," ujarnya.

Namun, hasilnya sungguh luar biasa. Hanya dalam tempo delapan bulan, Tri sudah melipatgandakan produksinya dari semula enam baju, sekarang sudah mencapai 2.000-3.000 baju per bulan. Permintaan itu berdatangan dari berbagai kota di Indonesia. Bahkan, Tri mengaku kewalahan karena sering kali permintaan lebih banyak dari stok barang yang tersedia.

Apalagi Tri juga masih mengandalkan sistem maklun. Sebab untuk pengadaan alat dan karyawan yang menetap, risikonya lebih besar dibandingkan dengan maklun. "Asal kualitas jahitnya sama, rapi, saya masih mengandalkan maklun sampai sekarang. Selain lebih terkontrol, bisa menghidupkan masyarakat juga yang membantu maklun untuk saya," ujarnya.

Tri mendasari usahanya dengan tekad dakwah. Dengan demikian, penamaan produknya pun betul-betul diniatkan untuk memuliakan Islam. Tri memberi nama produknya dengan nama "Mutif", artinya Muslimah inspiratif. "Saya sering teringat dan diingatkan oleh Ustaz Samsul Arifin dengan gerakan hidup berkahnya. Makanya karena usaha saya pun ingin berkah, saya memberinya Mutif," ujarnya.

Tri yang merancang semua produksinya, mulai dari pemilihan bahan, komposisi warna, sampai ke pernak-pernik yang menjadi hiasan baju-bajunya. Dengan harapan, remaja Muslim sebagai sasaran pasar dapat berbusana Muslim lebih santun dan terhormat. "Saya mengambil pasar remaja dengan latar ekonomi menengah. Alasannya, selain ingin membantu mereka berbusana sesuai dengan syariah, karena kapasitas produksi saya juga masih sangat terbatas. Kalau untuk kalangan bawah, permintaannya kan pasti lebih massal dan saya merasa tidak akan sanggup," katanya mengakui.

Hati-hati
Karyawan Tri yang bekerja rutin di rumah produksinya ada sekitar delapan orang. Sementara di luaran juga banyak para pekerja yang maklun kepada Tri. Kendati begitu, Tri mengaku, sekarang lebih berhati-hati. Apalagi sang guru Ir. H. Heppy Trenggono, M.Si. selalu mengingatkan, "Jangan ingin looking success, tetapi harus being success". Begitu Tri mengingatkan dirinya.

Tri juga selalu mengonsultasikan setiap langkah yang akan diambilnya kepada sang guru. Apalagi bila langkah itu akan berpengaruh terhadap keseluruhan usahanya. Dengan demikian, kalaupun ada risiko yang muncul, tidak terlalu fatal seperti dulu. Contohnya dalam memenuhi permintaan. Kalau dulu, kata Tri, ia akan segera menambah alat agar jumlah produksi lebih banyak dan pasar terpenuhi. Namun sekarang, berkat saran dan arahan IIBF, ia justru mengambil langkah yang lebih aman dan terjangkau tanpa harus terseret pinjaman bank.

"Godaan usaha itu ketika permintaan banyak dan tidak terpenuhi, inginnya tambah produksi. Jalan untuk tambah produksi adalah penambahan modal dan biasanya itu dari pinjaman ke bank. Sekarang saya tidak lagi," ujarnya.

Tri betul-betul ingin menjalankan usahanya berkah. Tidak lagi melesat secepat kilat, tetapi alon-alon asal kelakon. Terbukti, permintaan untuk menjadi distribtutor terus mengalir dari berbagai daerah. Pihak perbankan juga banyak yang menawari pinjaman. Namun Tri selalu ingat, yang penting maksimalkan segala yang sudah ada. Kalaupun kelak ingin investasi, tidak terjebak lagi pada jerat utang seperti dulu.

Dakwah dari Rumah
Tri menikah dengan Muhammad Nurul Ihsan (32) pada 2005 lalu. Ia dikaruniai satu orang anak, Alief Izzaddin (3). Kendati begitu, rumahnya selalu ramai karena Tri menjalankan usahanya di rumah. Begitu juga suaminya, ia membuka klinik pengobatan alternatif bersebelahan dengan ruang pamer baju-baju Tri. Dengan demikian, tak aneh bila rumah merangkap kantor ini selalu ramai sejak pukul 08.00 samapai dengan pukul 17.00 WIB.
"Sejak dulu, saya bercita-cita ingin mengembangkan usaha dakwah di rumah. Alhamdulillah, berkat bantuan semua pihak, saya bisa seperti sekarang," ujarnya.

Tri menyarankan kepada kaum perempuan yang akan atau sedang menjalankan usaha, sebaiknya ingat bahwa "mentor clarity is power" (kejelasan itu kekuatan). "Kita butuh guru atau mentor untuk belajar. Kalau belajar langsung dari pengalaman, mahal. Risikonya terlalu besar. Kenapa tidak belajar langsung kepada pelakunya. Mereka bisa melihat langkah-langkah yang diambil lebih objektif dan prosfektif," ujarnya. (Eriyanti/"PR")***

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=154325

referensi

http://iibf-indonesia.com/index.php?option=com_content&view=section&layout=blog&id=6&Itemid=106

No comments:

Post a Comment